Sebermula sebuah hiburan yang kemudian secara meyakinkan sukses untuk sekedar mengaduk-aduk perasaan penonton. Sekalipun berdasarkan kisah nyata, fiksi tetaplah bumbu yang menyegarkan dalam sebuah tontonan. Sekaligus betapa absurd masyarakat memandang status kelas, kelas menengah ditonton kelas pinggiran. Barangkali energi itulah yang tertangkap jamak masyarakat penonton ditengah kepenatan dan himpitan ekonomi. Maka sinetron sekalipun absurd adalah upaya pelarian dari kenyataan hidup sehari-hari.
Dan gayungpun bersambut drama ala Indonesia malah lebih absurd. Para pengambil kebijakan ramai-ramai cuci tangan atas hal yang menjadi tupoksinya. Hipokrisi di segala lini, menegakkan hukum sambil bermain api. Akibatnya fatal mereka bagaikan badut.
Memang ketika pertunjukkan membosankan dalam sebuah sirkus maka dimasukkanlah badut-badut supaya penonton mengalami relaksasi. Ini jamak di negeri nyiur melambai para badut bahkan cabul dan ekstase atas kecabulan.
Masyarakat sudah jengah, akhirnya mereka menuju laut , hutan , gunung bahkan gurun sahara yang gersang sekedar melupakan kecabulan para badut. Anehnya mereka selalu lolos setiap kali pemilu setiap kali ada kompetisi. Jangan-jangan mereka mengelembungkan suara sendiri biar memangku kekuasaan lagi.