Sebenarnya relaksasi mencari ide dan inspirasi. Namun melebihi ekspektasi sehingga seperti sinergi yang buat saya itu nampak kebetulan saja semacam saat yang pas.
Pagi itu secangkir kopi menemani beserta roti sisa kemarin. Dalam angan terpercik asa sekalipun lusa kemarinnya saya sudah berada diatas kuda jepang hampir seharian. Namun hasrat tak terbendung. Kebuntuan harus didobrak. Ia harus menemukan jalannya. Ya kuda jepang itu kupacu lagi.
Sinar mentari beranjak sedikit terik namun pepohonan sepanjang jalan mampu meredam panasnya matahari. Jalan yang berdebu saat kemarau menjadi teman maka mengaspalah aku. Ditunjang kuda jepang keluaran 2008 meluncur perlahan menyusuri tiap meter jalan.
Namun kuda ini harus aku kasih minum dulu supaya lancar jalannya. Pilihan ron 90 adalah yang paling ekonomis cukup 10 ribu saja. Maka sekali lagi kuda kupacu kecepatan moderat. Hampir satu jam lewat 30 menit aku sudah masuk kandang teman.
Sambutan yang hangat serta teh dan roti aku rasa cukup menanggulangi rasa seperti masuk angin diperut. Setelah obrolan ringan kami lanjut menuju sekolah ekonomi, maksudnya kampus ekonomi selatan rumah teman.
Disana sudah disambut oleh para kreator tukang poto dan para talent beserta tukang riasnya. Perbincangan hangat dan akrab mengalir begitu saja bagai sungai dibawah kami. Yang istimewa bahasan kopi pangku dan pijat ekonomi plus yang membuat kami terpingkal-pingkal. Ini fenomena jaman yang mana strategi pemasaran adalah kunci.
Beranjak dari kampus saya pamit ke warkop tengah kota bertemu kolega lawas. Ngopi untuk kesekian kalinya dalam arti harfiah. Secara umum strategi punya peranan penting atas bertahannya kolega saya dibelantara kota. Sekali lagi harapan dan kekecewaan masih terbersit. Itulah hidup ia mengandung tantangan dan peluang sekaligus daya dorong.
Maka saya mengusulkan urunan kecil-kecilan dengan ide rintisan koperasi produksi. Ini seperti usang namun semangat kebersamaan tetap paling mutakhir dan tak tergantikan. Koperasi menjadi besar lewat uji waktu dan sejarah. Dan alhamdulillah kolega saya ini mengafirmasi gagasan saya. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk mengumpulkan kolega lainnya.
Perjalanan masih lanjut menuju komrad omar bakre, ya teman saya guru swasta yang saat sekarang sedang menjalani PPG. Nasib buruh pendidikan ini mirip kajian poskolonialisme "almost the same but quite , almost the same but not white ". Sulit menempatkan soalnya bukan buruh pada umumnya semacam buruh pabrik atau pekerja disektor negara /PNS.
Karena posisi yang mengambang inilah maka setiap isu apalagi kebijakan untuk menyejahterakan selalu penuh konflik. Perlu kajian khusus kenapa sekian puluh tahun masih seperti ini. Mereka bekerja namun dengan upah yang tidak layak dan tanpa jaminan sosial.
Setelah diskusi yang juga ngambang saya lanjut ke rumah teman yang lainnya dalam bahasanya terpaksa ndekan atau jadi dekan soalnya darurat. Seperti mengusahakan sesuatu sebagaimana mestinya teman saya ini malah menohok dengan jargon matinya kepakaran.
Dalam otak pikiran saya quo vadis sekolah atau bahkan The End Of sekolah. Soalnya di era disrupsi informasi komunikasi sekaligus teknologi ditandai dengan kecepatan hipersonik. Maka ini adalah tanda-tanda jaman. Entah kenapa sangat ambisius " era matinya kepakaran ". Semua peran hampir diambil alih teknologi artificial inteligent atau kecerdasan buatan. Semacam telepon pintar , rumah pintar , televisi pintar bahkan orang pintar huahahaa. Yang terakhir ini sudah ada sejak jaman baheula.
Bahwa generasi sekarang lebih melek teknologi maka segala perangkat aturan menyertainya. Maka yang tertinggi dalam penemuan umat manusia adalah etika/moral/akhlaq/keadaban. Inilah simbol tertinggi puncak puak peradaban. Tabik.