Rabu, 14 Maret 2012

Rethinking About Another

Jika diumpamakan berjalan maka menggunakan dua kaki. Nah ini hari bukan saja dua kaki melainkan juga meroda dengan dua ban depan belakang. Kita memacu ini motor seperti race paris dakar dengan medan kadang mulus lurus kadang berkelok dan bergelombang. Seperti pengalaman yang sudah-sudah maka kecepatan berbanding lurus dengan konsumsi bahan bakar. Maka kencinglah ini motor memaksa menguras kantong yang semakin tipis.

Semakin jauh semakin dalam saja isi kantong berkurang karena yang diisi bukan hanya bahan bakar motor saja, melainkan rasa haus yang luar biasa ditambah cuaca kota Jember yang lembab dan panas. Sekali lagi kompensasinya adalah air mineral hasil menjarah disalah satu kantin kampus tetangga. 

Namun segala daya upaya terbayar lunas sudah, sekalipun datang belakangan namun pelayanan lebih awal. Mirip metode last in first out, atau jangan-jangan ini juga suatu bentuk penghindaran paling mutakhir. Wah kalau itu mungkin tugas para inteljen mencari sebab musabab. Akar permasalahannya adalah bagaimana tujuan tercapai namun dengan cara yang saling menguntungkan. Sekali lagi hati ini masih terhibur dengan datangnya seorang kenalan dan memberikan atensi atas kehadiran sebuah agen kapitalis terselubung, salam takzim.

Namun yang lebih dahsyat lagi adalah sambutan hangat orang-orang yang sekalipun baru bertemu dan saling mengobrol akrab sanggup membangun suasana. Dari sini mungkin sebuah komunikasi yang baik dibangun atas dasar penerimaan yang baik tanpa rasa curiga dan tanpa rasa pura-pura, jadi mirip syair sebuah lagu “pretend that you dont care”. Mungkin juga seperti sebuah kebetulan jika obrolan yang saling berkaitan lantaran juga adanya saling mengerti tentang subjek atau tema pada umumnya, gracias a la vida. Terima kasihku ucapkan kepada para frontier atas perkenan menerima sekali lagi agen kapitalis lanjut.

Bahwa bahasa sanggup memindahkan kompleksitas psikis ke kompleksitas sebenarnya, hal ini karena energi ketegangan kreatif memang harus dibangun agar tidak terjadi kesadaran semu dan bahkan disorientasi. Realita masyarakat modern kiranya menginginkan hal yang demikian bisa dimaknai demagogi. Bahwa hubungan yang hangat dan subtil sudah mengalami transformasi menjadi semakin materialistis. Namun kiranya kita patut bersyukur ditengah arus gelombang kapitalis modern masih ada juga cahaya-cahaya kebaikan pada hamba-hambanya yang mengaktuilisasinya dengan mengabdi bekerja untuk “rakyat kampus”. Viva to all of worker employer and many more who have contributing build better life in better environment. 

Sekali lagi adalah memaknai sampai sejauh mana kita melampaui batas dalam kerangka transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kebaikan bersama. Waktu berubah dan kita ikut berubah didalamnya. Menjadi semakin baik atau semakin “gila’ dengan segala keterbatasan yang kita sandang. 

Tulisan ini sengaja sebagai penanda agar kita tidak takut untuk mencoba hal-hal yang mungkin baru. Jember 13032012, sedang stay at uncle home. Scribo cogito sum.


Minggu, 11 Maret 2012

Sebuah Gagasan Tentang Kuasa

  

  Kelak pada saatnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan dikuasai atau menguasai. Kedua term sebenarnya saling bergantung dan saling berinteraksi. Keduanya bermain dalam oposisi biner, yang mana saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Dalam kehidupan ini kita mengenal ilmu dan teknologi, keduanya ternyata sangat berguna sekali. Hebatnya lagi sejak menjadi bahan kajian maka tumbuh seiring pula sebuah institusi untuk mencetak kelas penguasa.

    Maka terciptalah sekolah, apapun namanya kurikulum dan sistemnya sama. Program pendisiplinan individu dengan sistem sel. Dari sini pengetahuan tentang kuasa diproduksi,direpetisi dan digunakan sebagai alat dan komoditas oleh kelas penguasa. Maka barang siapa ingin lebur dalam kelas penguasa maka haruslah masuk sekolah.

    Dalam alam pengetahuan orang awam,bahwa gagasan sekolah adalah sebagai pengentas kebodohan kemiskinan keterbelakangan keterisolasian dan ketertindasan. Maka muncul  kalimat " ora tau mangan sekolah " , menunjukkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang ajaib yang bisa mengubah nasib manusia. Bagi yang pernah mengalami masa sekolah mungkin juga berkata lain,bahwa selain mendidik maka sekolah juga gemar menghukum. Setidaknya menawarkan hal yang demikian bagi pelaku keonaran atau tidak patuh pada sistem.

    Dari sini pengetahuan diolah dan dijadikan baku,bahwa di sekolah antara kelas penguasa dan yang dikuasai terjadi interaksi atau spionase. Masing-masing pihak belajar dengan strategi dan pendekatan yang berbeda guna mencapai tujuan. Terjadi sistem kompromi, maka para pihak di sekolah kemungkinan akan saling melengkapi atau menutupi suatu realita bahwa sekolah bukan lembaga yang semata memberikan pengajaran dan pendidikan melainkan juga ajang mencari bakat untuk regenerasi kelas penguasa baru.

    Transformasi pengetahuan bisa berjalan searah juga spiral mengingat pengetahuan tidak hanya diolah di sekolah melainkan juga dari jejaring, baik di dunia nyata maupun maya ( internet ). Maka kuasa pengetahuan nampak bersifat demokratis dipermukaan. Namun apakah benar hal tersebut? apa tidak ada hidden agenda dari kelas penguasa?. Jika tujuan mulia pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa lantas mengapa secara global yang marak tampil adalah wajah garang korupsi dan kolusi.

     Bisa jadi anggapan masyarakat selain beroleh pengetahuan maka sekolah juga menawarkan kecurangan. Manipulasi besaran angka dan nilai dianggap wajar agar tetap dalam lingkaran sistem yang sesat. Inilah yang kemudian menjadikan pengetahuan tentang kuasa hanya dimaknai sebatas manipulasi kolusi kecurangan dan korupsi. Sebab pengetahuan awal diproduksi di sebuah lembaga bernama sekolah.

    Perlu dikaji ulang tentang gerakan wajib belajar 12 tahun yang sampai hari ini hanya dimaknai sebatas sekolah dari jenjang SD-SMA. Mengingat kuasa pengetahuan juga berlaku diluar tembok sekolah yang angkuh dan angker dengan segala dominasi kelas penguasa.

Sabtu, 10 Maret 2012

Bukan Kompetisi Melainkan Kerjasama ( Jember Exegese )

Bu Budi dan Bu Joko dua entitas seragam kaya warna. Bersebelahan mereka sama-sama membuka usaha warung kopi yang hari ini ribut sejak ada proses paten. Keduanya memasok minuman dan makanan bagi para pelajar dan umum di sebuah komplek kantin perguruan tinggi di kota Jember. Sebagai makhluk ekonomi keduanya terpanggil untuk mengabdikan diri melayani segolongan pelajar yang kelihatannya " pemikir serius ", saya kadang tertawa sendiri mengingat masa silam. Akankah pemikiran itu tetap berlanjut di kantin-kantin.

Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.

Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.

Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa? Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult, bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.

Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat "dasar", kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita. Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya? Salam.

Sabtu, 03 Maret 2012

The Passion

Entah apa yang sebenarnya terlintas dalam benak saya, namun yang pasti ada sebuah asa untuk kita semua bangkit dari keterpurukan. Berawal dari menonton suatu peristiwa atau kejadian dari televisi maupun pengamatan langsung di lapangan. Tentang suatu gairah yang timbul ketika saya menyaksikan liga Inggris, fil Hollywood maupun film India. Disana telah direproduksi secara massal suatu budaya populer dan masyarakatnya bernikmat diri dengannya bahkan tercipta simbiosis mutualisme. Ada kehausan tersendiri terhadap budaya tontonan massa. Mungkin kita di indonesia jaman orang tua kita dulu jaman baheula adalah kegemaran menonton wayang atau kesenian ludruk maupun ketoprak.

Secara pastinya kapan budaya tontonan menjadi santapan wajib dan bersifat masal saya kurang mengetahui. Namun kegairahan itu sendiri adalah suatu panggilan, semacam kutukan agar budaya tontonan masal terus direproduksi tanpa henti. Akhirnya semua tergantung juga dengan semangat jaman juga semacam seleksi alam. Terjadi pertukaran di ruang-ruang publik, kita bangsa asia yang makanan pokok beras ternyata juga doyan menyantap hamburger pizza dan juga makanan impor lainnya. Sementara kita juga tahu bahwa sebagian dari kita juga kesulitan untuk sekedar mengganjal perut.

Mungkin juga karena dari kegairahan itu sendiri terdapat sistem otomatis untuk memproduksi suatu budaya tontonan masal. Mungkin jika sehari saja tidak diproduksi maka akan timbul gudik. Semacam penyakit yang bisa menular dan memalukan. Maka bisa siapa saja terkena semacam virus yang dinamakan kegairahan ini. Bisa juga dimaknai lain bahwa karena gairah manusia bertahan untuk terus hidup dan berkarya.

Seratus Tahun Kesunyian Legiun Asing Dan Secangkir Kopi

Bowo seorang pemuda yang merasa lapar dan ingin makan. Bowo berjalan-jalan mencari tempat yang cocok untuk menutupi keinginannya tersebut. S...