penerbit arrus media Yogyakarta
terbit 2012
judul madilog
penulis Tan Malaka
penerbit Narasi
terbit 2010
judul Pacar Merah Indonesia jilid 1
penulis Matu Mona
penerbit Beranda
tahun terbit 2010
Setelah pemberontakan PKI 1926 yang berlangsung di Banten, Batavia,
Semarang, dan Padang dipatahkan dalam hitungan hari oleh pemerintah
Hindia Belanda, ribuan pengikut orgaan paling militan di awal
tahun 1920-an ini dibui dan dibuang ke Digul. Yang lainnya melarikan
diri dan menjadi manusia kalong di negeri orang. Termasuk lima+satu
pemimpin mudanya: Semaun, Djamaludin Tamin, Musso, Alimin, Darsono, dan
tentu saja Tan Malaka.
Kisah pelarian lima+satu tokoh PKI itu yang kemudian dijadikan Matu
Mona (nama pena wartawan Hasbullah Parindurie) sebagai latar cerita.
Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia) menjadi judul awal saat roman ini diterbitkan sebagai cerita bersambung di Pewarta Deli, 9 Juli-19 September 1934. Karena mendapat sambutan yang baik, seri cerita ini pun diterbitkan dalam bentuk buku pada 1938 oleh Centrale Courant en Boekhandel (Toko Buku dan Surat Kabar Sentral) di Medan.
Sebagaimana judulnya, roman ini menjanjikan adegan penyamaran yang
licin, spionase yang seru dan penuh kejutan, klandestin dengan latar
politik pengejaran pimpinan PKI yang ngalong di Eropa, Amerika, dan Asia.
Matu Mona mengaku, ia mengail bentuk roman ini dari dua karya sukses
Baronesse Orczy yang sudah diterjemahkan Balai Pustaka pada 1928, yakni Beloet Kena Randjau atau Patjar Merah Terjerat dan Litjin Bagai Beloet. Pacar Merah dalam karya Matu Mona adalah Scarlet Pimpernel dalam karya Orczy.
Kita tentu saja tak mungkin melakukan pencocokan sejarah yang
sepersisnya dalam roman Matu Mona ini. Sebagaimana kata “penyambung
lidah” dan penemu kuburan Tan Malaka, Harry A Poeze, roman ini
“mencampur-adukkan fakta, desas-desus, khayalan”.
Tapi dalam skala minimum, koneksi ke sejarah itu masih bisa dirabai.
Misalnya penyebutan nama tokoh-tokohnya, seperti Djalumin, Paul Mussote,
Ivan Alminsky, Semaunof, Darsonov yang memiliki kemiripan dengan nama
tokoh-tokoh kunci PKI generasi pertama (Djamaludin Tamin, Musso, Alimin,
Semaun, dan Darsono), yang menjadi dasar bahwa ini adalah roman sejarah
yang diracik dengan bumbu khayal dan mitos yang kadang berlebih.
Atau tentang Tentonstelling Coloniale (Pameran Besar Hindia)
di Paris yang merendahkan bangsa Timur yang dikecam penuh amarah oleh
Paul Mussote. Peristiwa itu nyata dan kemudian oleh Frances Gouda dalam Dutch Culture Overseas dijadikan panduan penting untuk menjelaskan hubungan yang bias antara penjajah dan negara jajahannya.
* * *
Matu Mona menyebut kelima aktivis kalong itu sebagai Super Patriot
dengan Pacar Merah atau Tan Malaka (nama ini tak pernah disebut) menjadi
tokoh sentralnya. Pacar Merah dalam roman ini adalah nabi pergerakan
Indonesia yang disamakan begitu saja oleh Matu dengan Mussolini di
Italia, Stalin di Uni Soviet, Kemal Pasha di Turki (Buku 1: 43), Jose
Rizal di Filipina (Buku I: 167), bahkan mirip dengan tokoh fiksi Don
Quixot (Buku 1: 193).
Selain menjadi aktivis pergerakan yang misterius—mysteryman (dalam Buku 2 tertulis: mysterieman),
Pacar Merah punya koneksi jaringan bawah tanah di banyak negara yang
terus menjaga gerakannya dengan cita-cita besar memerdekakan Nusantara.
Ia menjadi target utama PID Hindia Belanda di pelbagai negara karena
pengaruhnya. Itulah sebab kepalanya dihargai sebesar: 50 ribu dollar.
Proses pengejaran Pacar Merah bersama para pelindungnya inilah yang
membuat roman ini menjanjikan ketegangan.
Di Buku 1, pembaca akan disuguhkan kisah Pacar Merah menjadi sosok
yang “licin bagai belut” (hlm 78) dan dengan lihai berpindah-pindah
tempat antar negara seperti: Bangkok, Singapura, Filipina, Indocina, New
York, dan berakhir di Hong Kong dengan tertangkapnya Pacar Merah yang
kemudian dilepaskan kembali. Sementara di Buku 2, kita akan mengikuti
tokoh-tokoh ini gentayangan di Perancis, Spanyol, Jerman, Uni Soviet,
dan berakhir di front pertempuran Palestina melawan Zionis Yahudi dengan
tewasnya Alminsky dan luka parahnya Pacar Merah.
Dengan bahasa campur baur (Melayu, Inggris, Belanda, Prancis), Matu
Mona menggosok kemampuan belut tokoh-tokoh ini lolos dari spionase PID
yang ditanam di hampir semua negara. Berderet-deret nama samaran
dilekatkan pada Pacar Merah untuk menjadikannya tokoh paling berkabut,
seperti Vichitra (di Bangkok), Puting Ulap dan Profesor Martines
(Filipina), Tan Min Kha (Indocina), Ibrahim el-Molqa (Arab/Palestina),
dan Amru (Samarkand, Kauskasus, Rusia).
Bermacam-macam pula modus coba diracik Matu Mona agar ceritanya
selalu menyimpan greget. Di Buku 1, misalnya, pembaca akan disuguhkan
peristiwa bagaimana Pacar merah diselundupkan organ bawah tanah
Siam-Malaya untuk lolos dari sergapan dalam kapal barang. Atau di Buku
2, bagaimana Darsonov berhasil memperdayai PID Paris dengan bersembunyi
di Masjid (hlm 23-24).
Disebutkan juga bahwa Pacar Merah memiliki azimat yang bisa
memprediksi apa yang terjadi di masa depan. Termasuk kekuatan gaib. “Aku
dapat menghilangkan diriku. Biarpun beribu manusia mengepung,” kata
Pacar Merah (Buku 1: 77-80; Buku 2: 46-48). Bahwa Pacar Merah punya aji
kekebalan tubuh (Buku 1: 203). Bahwa Pacar Merah punya ilmu hipnotis
yang bisa memperdaya PID Moskow (Buku 2: 183, 185). Bahkan Mussote,
lewat perjalanan yang melelahkan menembus kembali Indonesia
dieluk-elukkan warga sebagai Ratu Adil dengan membagi-bagikan beras dan
uang kepada petani melarat. (Buku 2: 161, 163).
Dalam proses penyamaran itu, Pacar Merah dan rekan-rekannya senasib
kemudian kita dapatkan menjadi manusia Super Patriot: pribadi-pribadi
yang mencintai negerinya, tapi terperangkap menjadi warga tanpa negara
selama bertahun-tahun lamanya. Kerinduan yang meraung dan petualangan
penuh kesepian itu yang terus dieksploitasi Matu Mona dengan dilengkapi
percintaan tanpa seks antara Pacar Merah dengan Ninon Phao (Bangkok),
Pacar Merah dengan Agnes Palloma (Filipina), serta Ivan Alminsky dengan
Michelle (Paris).
Matu Mona saya kira berlebihan meletakkan Pacar Merah dalam konteks
pribadi menjadi kalong politik di Eropa, Amerika, dan Asia. Dari detail
yang saya catat di Buku 1 dan 2, Pacar Merah disebut-sebut pribadi luhur
tanpa cacat, seorang ksatria budiman (hlm 60), pentolan kebangsaan (hlm
90) yang kalis dari seks, sesosok di mana masa depan pergerakan
Indonesia diletakkan di pundahknya.
Apalagi Matu Mona menempatkan Pacar Merah dan rekan-rekannya nyaris
selalu hadir dalam momentum sejarah besar pergolakan revolusi di
sejumlah negara.
Di Buku I, Matu Mona berada di tengah arus Revolusi Rakyat Thailand
(hlm 70) yang hampir meledak, perang besar Tiongkok-Jepang di
Indocina/Saigon (hlm 208). Sementara di Buku 2, Matu Mona menempatkannya
di perang saudara Spanyol (hlm 50-51), di tengah kelahiran Fasisme
Italia dan Perang Ethiopia, kecamuk Nazi Jerman (hlm 70), kediktatoran
Kremlin menjadi-jadi (hlm 169), pawai kuasa Syah Iran (hlm. 201), maupun
Perang Palestina-Israel (hlm. 78).
Dari segi menjaga ritme keterkejutan, Matu Mona terperangkap pada
klise. Di Buku 2, Matu Mona kehilangan daya pukau bercerita sama sekali
lantaran nyaris ia hanya mengulangi adegan-adegan detektif, penyamaran,
dan tumpukan sindikasi supranatural yang sudah jor-joran disajikan di
Buku 1.
Di buku 2 pembaca justru dijejali informasi-informasi ensiklopedis
dan kronikal tentang perang dan golak politik besar di Spanyol,
Ethiopia, Italia, Prancis, Jerman, India, Iran, Moskow, dan Palestina di
tahun-tahun 30-an. Untunglah, pembaca masih tertolong oleh kisah-kisah
konyol Darsonov dan kepulangan klandestin Paul Mussote ke Indonesia
untuk mengumpulkan basis yang terserpih dan nyaris tak terterangkan
dalam sejarah pergerakan.
judul Pacar Merah Indonesia jilid 2
penulis Matu Mona
penerbit Beranda
tahun terbit 2010
judul Burung Burung Manyar
penulis YB Mangunwijaya
penerbit Djambatan
tahun terbit 2010
judul Dialektika Islam
penulis Yudi latif
penerbit Jalasutra
tahun terbit 2009
judul Jalan Sufi Nurcholis Madjid
penerbit pilar Media
tahun terbit 2007
Informasi lebih lanjut hubungi 081559813926 / 081358255923 up Tony Herdianto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar