Bisa dikatakan sebagaimana lazimnya,mungkin sejak kita masuk Taman
Kanak-kanak. Tempat dimana kita dipanggil sesuai nama dan nomor urut
absen. Kehadiran adalah semacam kewajiban jika kita patuh pada aturan
main. Akan menjadi lain jika hal tersebut diatas kita arahkan ke sebuah
ruang publik anonim. Ambil contoh terminal,jalan raya atau bandara.
Disini kehadiran kita diwakili oleh atribut,simbol atau emblem yang kita
kenakan.
Maka hal yang tak terbantahkan adalah jalinan komunikasi yang semrawut.
Kita tidak dikenali sebagai entitas individu seperti dalam sebuah
kelompok masyarakat atau dalam keluarga. Bahasa kerennya adalah anda
adalah apa yang anda kenakan. Maka yang terjadi adalah perebutan
frekuensi karena dibangun secara acak disebuah ruang publik anonim.
Inilah yang kemudian mendorong warga kota hanya mengenal entitas sebatas
yang intim.
Menjadi semakin lebih semrawut karena terjadi proses suaka secara tidak
sadar terhadap kekacauan. Menjadi nyentrik bahkan eksotik ketika kita
memanggil entitas ke dalam sebuah jurusan tertentu seperti layaknya
pedagang dipasar. Kode untuk mengenal semacam feromon siapa paling tajam
pembauannya atau instingnya maka pasar akan dikuasai.
Dari ruang privat ke ruang publik informasi ditukarkan secara acak maka
tangkapan frekuensi baik buruknya tergantung kepada antena. Dari sini
informasi diolah untuk kemudian disandikan balik secara acak. Sekali
lagi perebutan tak terelakkan sesuai dengan sifat ruang publik anonim
yang acak. Antena insting dan ketajaman adalah bahasa universal yang
mana bukti dilapangan akan menunjukkan siapa kita dalam balutan ruang
publik anonim. (Salam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar