Selasa, 29 Mei 2012

Negasi Sebuah Perjuangan

    
    S
ebermula adalah kata, terjalin rangkaian kata menjadi kalimat. Berjilid-jilid menjadi aneka warna karya, kedaulatan ada ditangan penulis dan pembaca. Maka berbicaralah sang pujangga, ada kalanya hidup manusia diliputi kesenangan akan dunia. Juga sebaliknya kesedihan merundung kehidupan manusia. Sang bijak bestari berkata semua ada hikmahnya, karena hampir tidak ada ciptaanNya yang sia-sia. Kita manusia diberikan akal pikiran agar bisa mendekat kepadaNya. Maka manusia haruslah menggapainya dengan sultan (ilmu) untuk menjangkaunya.


    Masalah kontemporer hari ini adalah galau, hampir menghinggapi seluruh lapisan manusia, tua muda kaya miskin. Mengapa sebagai hamba yang beriman dan berilmu kita masih galau? Sumber yang utama adalah diri sendiri sebelum kita melihat keluar. Bertanyalah pada hatimu, berpikirlah sejernih mungkin. Maka akan kau dapati bahwa manusia adalah sarang kedhaifan serba ternoda salah dan lupa.

    Dibutuhkan usaha yang sungguh-sungguh untuk mencapai kejernihan berpikir dan bertindak. Upaya yang berkesinambungan dan penuh pengabdian pada kemanusiaan yang adil dan beradab, tidak terhenti pada kebijakan-kebijakan kata-kata tetapi implementasi. Wujud riil atas amanat rakyat menuju negeri gemah ripah lohjinawi toto tentrem kerto raharjo baldatun thayibatun ghafurur rahim. 

    Bahwa atas berkat Allah yang maha kuasa dan dengan dorongan cita-cita luhur maka dengan ini menyatakan kemerdekaannya. Bangsa ini sudah lepas dari penjajahan tradisional namun masih terjebak kearah mana bangsa akan dibawah kalau masalah kemajemukan tak segera teratasi. Kalau hal ini benar maka para pemimpin sedang galau dan mereka masih bermimpi mewujudkan negara sejahtera. Padahal disudut sana bung Akbar sudah bosan mbecak di Jtv, ia memutuskan pindah saluran menjadi comic di stasiun nasional.


    Humor adalah soal selera namun keterlaluan jika pelaku humor adalah pengambil kebijakan tinggi, lha rakyatnya mau ketawa dengan cara apa?! Wong mereka sudah ngenes dengan persoalan sehari-hari. Memang benar kebahagiaan ada dihati bukan berupa materi, namun mau bahagia bagaimana kerja tak dapat. Sementara kaleng susu bertalu-talu laksana gendang nusantara memanggil-manggil anak nusantara jangan menyusu pada ibumu. Lha ini celaka namanya kedaulatan ibu direnggut paksa oleh sebuah kampanye internasional "Gantilah susu ibu dengan susu kaleng maka kau akan lebih sehat dan menaikkan gengsi daripada ibu dan bayi." Menyusui adalah kegiatan purba manusia sebelum bayi mengenal beras bahkan hari-hari ini dijejali produk yang katanya sanggup membawa si bayi berpikir cerdas nakal dan radikal, atau jangan-jangan awal teroris dari sini juga ya? Karena bayi telah lepas dari kasih sayang ibunya, dijadikan robot oleh kapitalisme mutakhir.

    Jangan-jangan cyborg juga sudah berkembang biak lantaran hari ini kita tak peduli lagi pada tradisi, semua serba instan. Perguruan tinggi instan, rumah sakit instan, bupati walikota presiden. Juga dalam pikiran nakal bahwa penguasa langit dan bumi jangan-jangan juga dijadikan instan oleh hambaNya. salam


Malang,290512
sekedarnya saja

Senin, 07 Mei 2012

Islam dan Demokrasi (1)

Tulisan ini tidak mempunyai kehendak semacam gendang yang dipukul bertalu-talu. Juga tidak membuat suasana hingar bingar yang sudah diwakili masyarakat Indonesia kontemporer. Juga tidak hendak memprovokasi agar perjuangan haruslah melalui jalan kekerasan melainkan mari kita saling lempar wacana, bukan lempar handuk sembunyi badan. Hanya saja kemudian mencoba menyambung sebuah diskusi informal dengan seorang kawan tentang relevansi demokrasi dan Islam. Pertanyaan mendasar adalah kompatibelkah antara dua arus besar untuk bersatu jika keduanya mengusung kecurigaan. Bahwa dibutuhkan penerimaan yang tulus dan sungguh sungguh para pihak agar terbangun jembatan penghubung antar peradaban.

Jika peradaban dinasti yang berkuasa pasca khalifah disebut model ideal tentang negara. Maka kita akan mundur ke belakang sejak sebelum Islam diajarkan Oleh nabi Muhammad. Bahwa budaya patriarki adalah sebelum kedatangan nabi sudah ada maka peradaban yang hendak dibangun oleh kalangan pengusung daulah kedinastian bisa saja mendekati abad kegelapan. Maka ada namanya jalan tengah, mungkin model ini diterapkan oleh negara Turki saat sekarang. Sekalipun ide tentang sekularisasi meluluhlantakkan peradaban Turki pasca perang dunia kedua, saat sekarang pelan tapi pasti meminjam istilah Peter L Berger bahwa peran agama diterima selaku benar adanya.

Maka runtuhlah ide sekularisasi yang diusung oleh peradaban Eropa berikut sistem jelmaan manusia yang rakus. Imperialisme,kapitalisme,liberalisme dan matinya komunis seiring dengan semakin seksinya sosialis bertabur kue kapitalisme model Cina. Maka demokrasi tidak menyingkirkan peranan agama sama sekali bahkan berkolaborasi membangun sebuah negara bangsa semacam Indonesia. Kita temukan dalam mukadimah undang undang dasar  1945. Ideologi bangsa juga bersumber atas kehendak atau campur tangan Tuhan yang maha esa.

Dari sini kita akan temukan bahwa model negara bangsa menemukan jalannya ketika kita melihat diri sendiri sebagai sebuah bangsa Indonesia yang utuh. Kita berdiri di atas berbagai kemajemukan, bhineka tungga ika. Dan para pendiri bangsa paham betul bahwa peranan agama sangat relevan dan kompatibel dengan negara bangsa. Maka demokrasi Pancasila mengelaborasi peranan agama dalam sebuah negara bangsa Indonesia.

Selasa, 01 Mei 2012

Suatu Hari

Sebelumnya dari sebelumnya
Aku kau dan mereka
kami tak pernah sama
sampai suatu saat
ambil bola itu
atau kau akan terlindas
Kami berebut
giliran mereka menghadang
menggalang menang
diantara kami pecundang
padahal kami berjuang

salam ,
hari buruh internasional
malang 1 mei 2012

Senin, 16 April 2012

Tentang Nama Tempat dan Kehadiran

Bisa dikatakan sebagaimana lazimnya,mungkin sejak kita masuk Taman Kanak-kanak. Tempat dimana kita dipanggil sesuai nama dan nomor urut absen. Kehadiran adalah semacam kewajiban jika kita patuh pada aturan main. Akan menjadi lain jika hal tersebut diatas kita arahkan ke sebuah ruang publik anonim. Ambil contoh terminal,jalan raya atau bandara. Disini kehadiran kita diwakili oleh atribut,simbol atau emblem yang kita kenakan.

Maka hal yang tak terbantahkan adalah jalinan komunikasi yang semrawut. Kita tidak dikenali sebagai entitas individu seperti dalam sebuah kelompok masyarakat atau dalam keluarga. Bahasa kerennya adalah anda adalah apa yang anda kenakan. Maka yang terjadi adalah perebutan frekuensi karena dibangun secara acak disebuah ruang publik anonim. Inilah yang kemudian mendorong warga kota hanya mengenal entitas sebatas yang intim.

Menjadi semakin lebih semrawut karena terjadi proses suaka secara tidak sadar terhadap kekacauan. Menjadi nyentrik bahkan eksotik ketika kita memanggil entitas ke dalam sebuah jurusan tertentu seperti layaknya pedagang dipasar. Kode untuk mengenal semacam feromon siapa paling tajam pembauannya atau instingnya maka pasar akan dikuasai.

Dari ruang privat ke ruang publik informasi ditukarkan secara acak maka tangkapan frekuensi baik buruknya tergantung kepada antena. Dari sini informasi diolah untuk kemudian disandikan balik secara acak. Sekali lagi perebutan tak terelakkan sesuai dengan sifat ruang publik anonim yang acak. Antena insting dan ketajaman adalah bahasa universal yang mana bukti dilapangan akan menunjukkan siapa kita dalam balutan ruang publik anonim. (Salam)

Rabu, 14 Maret 2012

Rethinking About Another

Jika diumpamakan berjalan maka menggunakan dua kaki. Nah ini hari bukan saja dua kaki melainkan juga meroda dengan dua ban depan belakang. Kita memacu ini motor seperti race paris dakar dengan medan kadang mulus lurus kadang berkelok dan bergelombang. Seperti pengalaman yang sudah-sudah maka kecepatan berbanding lurus dengan konsumsi bahan bakar. Maka kencinglah ini motor memaksa menguras kantong yang semakin tipis.

Semakin jauh semakin dalam saja isi kantong berkurang karena yang diisi bukan hanya bahan bakar motor saja, melainkan rasa haus yang luar biasa ditambah cuaca kota Jember yang lembab dan panas. Sekali lagi kompensasinya adalah air mineral hasil menjarah disalah satu kantin kampus tetangga. 

Namun segala daya upaya terbayar lunas sudah, sekalipun datang belakangan namun pelayanan lebih awal. Mirip metode last in first out, atau jangan-jangan ini juga suatu bentuk penghindaran paling mutakhir. Wah kalau itu mungkin tugas para inteljen mencari sebab musabab. Akar permasalahannya adalah bagaimana tujuan tercapai namun dengan cara yang saling menguntungkan. Sekali lagi hati ini masih terhibur dengan datangnya seorang kenalan dan memberikan atensi atas kehadiran sebuah agen kapitalis terselubung, salam takzim.

Namun yang lebih dahsyat lagi adalah sambutan hangat orang-orang yang sekalipun baru bertemu dan saling mengobrol akrab sanggup membangun suasana. Dari sini mungkin sebuah komunikasi yang baik dibangun atas dasar penerimaan yang baik tanpa rasa curiga dan tanpa rasa pura-pura, jadi mirip syair sebuah lagu “pretend that you dont care”. Mungkin juga seperti sebuah kebetulan jika obrolan yang saling berkaitan lantaran juga adanya saling mengerti tentang subjek atau tema pada umumnya, gracias a la vida. Terima kasihku ucapkan kepada para frontier atas perkenan menerima sekali lagi agen kapitalis lanjut.

Bahwa bahasa sanggup memindahkan kompleksitas psikis ke kompleksitas sebenarnya, hal ini karena energi ketegangan kreatif memang harus dibangun agar tidak terjadi kesadaran semu dan bahkan disorientasi. Realita masyarakat modern kiranya menginginkan hal yang demikian bisa dimaknai demagogi. Bahwa hubungan yang hangat dan subtil sudah mengalami transformasi menjadi semakin materialistis. Namun kiranya kita patut bersyukur ditengah arus gelombang kapitalis modern masih ada juga cahaya-cahaya kebaikan pada hamba-hambanya yang mengaktuilisasinya dengan mengabdi bekerja untuk “rakyat kampus”. Viva to all of worker employer and many more who have contributing build better life in better environment. 

Sekali lagi adalah memaknai sampai sejauh mana kita melampaui batas dalam kerangka transformasi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kebaikan bersama. Waktu berubah dan kita ikut berubah didalamnya. Menjadi semakin baik atau semakin “gila’ dengan segala keterbatasan yang kita sandang. 

Tulisan ini sengaja sebagai penanda agar kita tidak takut untuk mencoba hal-hal yang mungkin baru. Jember 13032012, sedang stay at uncle home. Scribo cogito sum.


Minggu, 11 Maret 2012

Sebuah Gagasan Tentang Kuasa

  

  Kelak pada saatnya kita dihadapkan pada sebuah pilihan dikuasai atau menguasai. Kedua term sebenarnya saling bergantung dan saling berinteraksi. Keduanya bermain dalam oposisi biner, yang mana saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Dalam kehidupan ini kita mengenal ilmu dan teknologi, keduanya ternyata sangat berguna sekali. Hebatnya lagi sejak menjadi bahan kajian maka tumbuh seiring pula sebuah institusi untuk mencetak kelas penguasa.

    Maka terciptalah sekolah, apapun namanya kurikulum dan sistemnya sama. Program pendisiplinan individu dengan sistem sel. Dari sini pengetahuan tentang kuasa diproduksi,direpetisi dan digunakan sebagai alat dan komoditas oleh kelas penguasa. Maka barang siapa ingin lebur dalam kelas penguasa maka haruslah masuk sekolah.

    Dalam alam pengetahuan orang awam,bahwa gagasan sekolah adalah sebagai pengentas kebodohan kemiskinan keterbelakangan keterisolasian dan ketertindasan. Maka muncul  kalimat " ora tau mangan sekolah " , menunjukkan bahwa sekolah adalah sesuatu yang ajaib yang bisa mengubah nasib manusia. Bagi yang pernah mengalami masa sekolah mungkin juga berkata lain,bahwa selain mendidik maka sekolah juga gemar menghukum. Setidaknya menawarkan hal yang demikian bagi pelaku keonaran atau tidak patuh pada sistem.

    Dari sini pengetahuan diolah dan dijadikan baku,bahwa di sekolah antara kelas penguasa dan yang dikuasai terjadi interaksi atau spionase. Masing-masing pihak belajar dengan strategi dan pendekatan yang berbeda guna mencapai tujuan. Terjadi sistem kompromi, maka para pihak di sekolah kemungkinan akan saling melengkapi atau menutupi suatu realita bahwa sekolah bukan lembaga yang semata memberikan pengajaran dan pendidikan melainkan juga ajang mencari bakat untuk regenerasi kelas penguasa baru.

    Transformasi pengetahuan bisa berjalan searah juga spiral mengingat pengetahuan tidak hanya diolah di sekolah melainkan juga dari jejaring, baik di dunia nyata maupun maya ( internet ). Maka kuasa pengetahuan nampak bersifat demokratis dipermukaan. Namun apakah benar hal tersebut? apa tidak ada hidden agenda dari kelas penguasa?. Jika tujuan mulia pendidikan adalah mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa lantas mengapa secara global yang marak tampil adalah wajah garang korupsi dan kolusi.

     Bisa jadi anggapan masyarakat selain beroleh pengetahuan maka sekolah juga menawarkan kecurangan. Manipulasi besaran angka dan nilai dianggap wajar agar tetap dalam lingkaran sistem yang sesat. Inilah yang kemudian menjadikan pengetahuan tentang kuasa hanya dimaknai sebatas manipulasi kolusi kecurangan dan korupsi. Sebab pengetahuan awal diproduksi di sebuah lembaga bernama sekolah.

    Perlu dikaji ulang tentang gerakan wajib belajar 12 tahun yang sampai hari ini hanya dimaknai sebatas sekolah dari jenjang SD-SMA. Mengingat kuasa pengetahuan juga berlaku diluar tembok sekolah yang angkuh dan angker dengan segala dominasi kelas penguasa.

Sabtu, 10 Maret 2012

Bukan Kompetisi Melainkan Kerjasama ( Jember Exegese )

Bu Budi dan Bu Joko dua entitas seragam kaya warna. Bersebelahan mereka sama-sama membuka usaha warung kopi yang hari ini ribut sejak ada proses paten. Keduanya memasok minuman dan makanan bagi para pelajar dan umum di sebuah komplek kantin perguruan tinggi di kota Jember. Sebagai makhluk ekonomi keduanya terpanggil untuk mengabdikan diri melayani segolongan pelajar yang kelihatannya " pemikir serius ", saya kadang tertawa sendiri mengingat masa silam. Akankah pemikiran itu tetap berlanjut di kantin-kantin.

Masa yang telah lampu membuat saya juga getol untuk sekedar bergiat dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Membahas tema yang hampir seragam tentang lingkaran kemelaratan yang hampir selalu hinggap pada diri ataupun lingkungan. Tak ubahnya pemikir sosialis lainnya dari dimensi makro ke mikro juga sebaliknya.

Namun kita patut bersyukur di ruang publik bernama warung inilah kita bebas mendirikan suatu mimbar dengan audiens terbatas sekaligus menghujat sebuah kebijakan. Barangkali dari sinilah kemudian timbul suatu ide tentang penjajahan. Kita mungkin pernah menjadi pelajar dan memiliki ide atau pandangan menggusur sebuah kemapanan. Akan tetapi sebuah pengetahuan tadi akan berubah melawan segala hal yang berbau gangguan dan disiden.

Sebagai contoh para birokrat pejabat atau siapa saja dilingkaran kekuasaan. Mungkin dulu mereka kritis namun setelah berkuasa? Inilah kemudian apa yang disebut dengan kuasa pengetahuan oleh foucoult, bisa juga knowledge is power oleh entah siapa yang mengatakan pertama kali. Dari dimensi ini kemudian kekuasaan dibangun. Entah berdasarkan asas kebaikan bersama atau kebaikan suatu kelompok.
Kembali lagi ke sebuah ruang publik bernama kantin atau kerennya warung. Dari sini proses klasifikasi terbentuk kita mengkotak-kotak diri kita sesuai dengan minat bakat dan kemampuan ( mirip ujian saringan masuk perguruan tinggi ). Bergerombol sekedar membahas sebuah tema atau lebih mulai dari yang hangat sanpai yang basi.

Maka sampailah ke depan pintu gerbang perpisahan karena jam diatur demikian. Ada saat bersua ada saat berpisah. Kembali ke ruang masing-masing sesuai dengan jadwal yang disepakati. Penulis beranjak pergi membayar kopi sembari mengumpat "dasar", kepala pusing kok yo sempat-sempatnya kumpul karo cah cah yang masih nggak jelas masa depannya. Maksudnya mau dibawa kemana langkah kita. Sambil bersungut-sungut memegang kepala karena sedikit cenat-cenut mikirin sukses nggak ya? Salam.

Seratus Tahun Kesunyian Legiun Asing Dan Secangkir Kopi

Bowo seorang pemuda yang merasa lapar dan ingin makan. Bowo berjalan-jalan mencari tempat yang cocok untuk menutupi keinginannya tersebut. S...